An Ode: Shadow - A Seventeen Anthology | Page 36

Tapi tidak ada yang menuruti teriakan itu, seolah-olah teriakan putus asa itu hanyalah angin lalu. Kerumunan itu masih tertawa, tangan mereka semua mengangkat Wonwoo dan Soon- young ke depan keramaian seperti bintang yang dielu-elukan oleh pengagumnya, lalu melem- parkan keduanya ke tanah. Pemandangan selanjutnya tidak kalah mengerikann- ya—orang-orang yang memakai baju putih itu serta merta menunjuk Soonyoung dan Wonwoo sambil tetap tertawa, sampai Wonwoo bingung entah apakah mereka semua adalah setan atau hanya manusia dengan jiwa psikopat. “Apa kita akan mati seperti ini?” tanya Soonyoung di sebelahnya, rautnya ketakutan, air matanya telah habis ditumpahkan—menampakkan jelas wajahnya yang lembap oleh bekas air mata. Jelas bukan pemandangan yang biasa Wonwoo lihat. Soonyoung sahabatnya adalah orang yang ceria dan optimis, bukannya yang sedang menangis, meminta ampun barangkali kepada Tuhan supaya untuk kali ini saja, kiranya dipanjangkan umurnya. Ini semua karena satu ritual sialan dan—terutama—Mingyu. Itulah yang membuat Wonwoo akhirnya bangkit, seperti orang yang kesurupan—mungkin kemarahan yang mengambil alih dirinya—hingga kemudian ia berlari ke arah Mingyu, mencekik laki-laki yang masih tertawa itu. Ia tidak mempedulikan teriakan Soonyoung di belakangnya, yang ada di pikirannya sekarang hanyalah bagaimana ia harus melepaskan Mingyu dari setan yang merasuki sepupunya itu, dan membawa mereka bertiga keluar dari tempat ini hidup-hidup. “Kau bisa membunuhnya, Wonwoo!” Soonyoung menahan pergelangan tangan Wonwoo, tapi nahasnya, lehernya kemudian balas dicekik oleh Mingyu. Mata laki-laki itu hitam, cukup jelas untuk menyadarkan Wonwoo bahwa ya, sepupunya masih dirasuki. “W-Won...” Suara Soonyoung makin memelan, bersamaan dengan sorot matanya yang meminta tolong—dan putus asa, bibirnya memucat karena napasnya semakin pendek. Wonwoo menangis, tolong biarkan Soonyoung hidup, tolong kali ini saja. Wonwoo makin mengeratkan cekikannya pada Mingyu, “Lepaskan Soonyoung, bajingan!” teriaknya, putus asa. Mingyu tertawa, alih-alih melepaskan cekikan seperti yang disuruh, tangan laki-laki itu malah mengarahkan Soonyoung ke arah api unggun yang sedang berkobar begitu besarnya. Wonwoo menahan napas saat menyaksikan kejadian detik berikutnya—bagaimana Mingyu melepaskan cekikan itu dengan mendorong Soonyoung, membuatnya terjatuh, terjerembap ke belakang—tepat ke arah api unggun. Dan dalam sekejap, Soonyoung menghilang, menjadi abu, terbang ke udara dan menghujami tanah di lapangan itu. Demi Tuhan. Suara-suara di sekitar Wonwoo menghilang, berganti dengan kata-kata Soon- young yang terus terngiang. Wonwoo. Tidak mungkin. Wonwoo masih ingat bagaimana kemarin ia masih tertawa bersama Soon-