An Ode: Shadow - A Seventeen Anthology | Page 101

pasti sukses karena kamu berbakat. Nanti kalau tinggal sama Wonwoo, ingetin dia buat selalu makan yang bener. Kalau Jun jadi pulang kampung, tolong ceritain ke aku bener nggak apa yang dia bilang selama ini soal kampung halamannya.” Sesenggukan terdengar dari mana-mana. “Nariin lagu aku ya, Soonyoungie?” Soonyoung tak bisa menjawab. Isaknya keras. Ia tak mau dengar. Tak mau menerima sahabat- nya telah pergi begitu mendadak. Tapi ia harus dengarkan, karena ini mungkin permohonan Jihoon yang pertama dan terakhir baginya. Jihoon memeluk dan mengecup ibunya, yang masih belum menerima kenyataan ini. Ayahnya merenggutnya erat, mencium keningnya berkali-kali. Di sudut terdalam hati, mereka tahu, bahwa anak mereka memang telah tiada. Anak semata wayang mereka… Kemudian, dengan bibir bergetar, Lee Jihoon menatap mereka. Para saudara tidak sedarahn- ya. Dua belas pasang mata yang merah dan basah memandang balik. Seungkwan yang perta- ma menghambur, memeluk Jihoon. Kemudian mereka semua memeluknya. Mengecup pipin- ya, mengucapkan selamat jalan. Memohon maaf. Mendoakan. “Seungcheol…” Anak lelaki itu hanya menjilat bibir. Pipi basah dan hidungnya memerah. Ia memukul pelan kening Jihoon. “Lain kali dengerin makanya omongan orang,” dihukumnya Jihoon. Ingin ia menjawab bahwa takkan ada lain kali, namun ia memutuskan untuk diam saja dan memeluk erat orang yang paling ia anggap sebagai kakak lelaki di antara mereka semua. “Jihoon,” Wonwoo memanggilnya. Ia mengulurkan tangan. Kucing Wonwoo masih bersa- manya, anteng di pelukan Jihoon. “Ayo pulang.” Lee Jihoon tersenyum. Sinar mentari lembut menimpa rambut pirang platinanya. Ia meng- gamit tangan Wonwoo. Erat. Lalu berbalik. “Terima kasih, semuanya. Sampai jumpa Halloween tahun depan!”