An Ode: Shadow - A Seventeen Anthology | Page 100

“Kamu lupa, Ji? Aku nemuin kamu di halaman belakang kuilku kemarin sebelum acara mulai,” Wonwoo tertawa kering. Ia menghela napas dengan berat. Terkadang, ia benci sekali dengan kemampuannya ini. Takdir memang terlalu kejam dengan melahirkannya sebagai keluarga penjaga kuil dan indra keenam sekaligus. Sudah cukup ramai kuil utama setiap malam sampai ia susah tidur, ia tidak perlu menjadi orang pertama yang menyadari bahwa sahabatnya… “Kamu nggak inget?” lanjutnya. Matanya letih, berbalur sembab. “Aku nemu jasad kamu di semak-semak itu. Bagian belakang tengkorak kamu retak. Makanya dengerin kata ibu kamu, kata aku juga kadang-kadang, kamu jangan menyendiri mulu. Kalau mau nulis lagu tuh di tempat yang ada Jun, ada Soonyoung, ada aku—“ Wonwoo tercekik tangisnya sendiri. Ia sudah tak bisa menahannya lagi. Tangisnya tumpah. Suaranya serak. “—a-aku nggak tau orangtua kamu mau kamu dibakar atau dikubur, jadi untuk sementara tadi keluargaku nguburin k-kamu—“ Ibu Jihoon menggelengkan kepala, juga menangis menggerung. Lolongannya tak percaya. Ayahnya memeluk ibunya erat. Jihoon mengernyit memandang mereka. Dan ketika ia menoleh ke para sahabatnya, mereka juga menangis tersedu-sedu. Wonwoo mengusap matanya dengan punggung tangan, menaikkan kacamatanya dalam proses. Tangan yang lain mengambil buku catatan kecil yang sangat familier bagi mereka. “B-buku lirik k-kamu—“ ...Oh. Jadi betul ya, kalau ia sudah tewas? Secepat ini? Dia tahun depan lulus lho. Sudah berniat pergi ke kota besar dan belajar menjadi komposer. Baru saja restu ibunya turun awal tahun ini, membuatnya lebih rajin menulis lagu di kala senggang. Jun masih utang janji mengajakn- ya jalan-jalan ke kampung halamannya sebagai pesta perpisahan mereka. Wonwoo juga sekolah ke kota besar nanti setelah lulus, mau jadi penulis, katanya. Ada celetukan ide kalau menyewa tempat berdua sepertinya lebih murah daripada tinggal sendiri dan Jihoon masih mempertimbangkan ide itu. Dan Soonyoung— Soonyoung. Jihoon berbalik ke sahabatnya dan menemukan anak lelaki itu tangisnya membanjir. Ingusn- ya turun, wajahnya sungguh merah. “Bohong kan…? Jihoonie…?” tanyanya putus asa. Jihoon tidak tahu harus berekspresi apa, karena toh ia sendiri masih tidak percaya, masih tak bisa memproses ini semua. Tapi, anehnya, tak ada rasa penyesalan sama sekali. “Soonyoungie… ini buat kamu,” diserahkannya buku catatan itu. Soonyoung menerimanya dengan gemetar kentara. “Kamu mau ke kota kan? Jadi dancer di sana? Aku selalu tau kamu