Agro Farm edisi 38 | Page 76

7676 Foto: Bimo Indonesia menempati urutan ke tiga setelah negara Singapura dan Madagaskar. Menurutnya, dalam meningkatkan produktivitas cengkeh masih menghadapi berbagai permasalahan antara lain : banyak tanaman sudah tua, rusak dan adanya serangan hama penyakit. Di satu sisi, adanya perubahan iklim ditambah keterbatasan sarana dan prasarana produksi. Lantas minimnya bibit unggul dan lemahnya sumber daya manusia maupun kelembagaan petani. “Beberapa tahun terakhir terjadi pengurangan produksi cengkeh karena adanya kekeringan, penyakit cacar daun cengkeh dan konversi areal cengkeh untuk tambang maupun komoditi lain,” ujar Gamal dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) di Kementerian Pertanian. Perkembangan cengkeh mengalami pasang surut dari waktu ke waktu. Areal cengkeh pernah mencapai luasan tertinggi pada tahun 1987, yakni 742 ribu hektar (ha), kemudian mengalami penurunan sampai titik terendah pada tahun 2000 dengan luas 415 ribu hektar. “Sekarang luas areal cengkeh mencapai 470 ribu ha dengan produksi 84,8 ribu ton,” paparnya. Areal di Sulawesi Utara sebagai penghasil utama cengkeh nasional, memberikan kontribusi besar, kendati areal seluas 75 ribu ha itu hanya 16 persen dari luas nasional. Kebutuhan cengkeh khususnya untuk pabrik rokok diperkirakan 110.000 sampai 120.000 ton per tahun. Ini peluang untuk meningkatkan produktivitas cengkeh. “Produktivitas cengkeh hanya mencapai 260-360 kilogram/ ha selama tiga tahun terakhir dari potensinya mencapai 600 kilogram/ ha,” tegasnya. Untuk itu, pihaknya akan melakukan revitalisasi lahan, perbenihan, infrastruktur dan prasarana, sumber daya manusia, pembiayaan petani, kelembagaan petani dan tekonologi untuk industri hilir. Sementara harga cengkeh terus melambung hingga menyentuh Rp 120 ribu per kilogram dari normalnya Rp 60 ribu-Rp 80 ribu per kilogram. Padahal, industri rokokyang menggunakan cengkeh sebagai bahan baku selain tembakau, selama ini mematok harga cengkeh maksimal Rp 70 ribu per kilogram. Kenaikan harga cengkeh akan mengancam produsen rokok kretek. Apalagi jumlah produsen rokok kretek di Indonesia terus merosot. “Pada tahun 2009 jumlah pabrik rokok kretek mencapai 2.500 perusahaan, kini menyussut hanya 1.500 perusahaan,” tukas Gamal. Gamal mengungkapkan, pengusaha rokok skala kecil terancam bangkrut karena tak bisa menaikkan harga rokok dengan tiba-tiba. Ini berbeda dengan perusahaan rokok besar yang bermodal kuat dan bisa mengatur harga jual produk lebih murah. Ketua Umum Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) Soetardjo mengatakan, produksi petani cengkeh beberapa tahun ini stagnan. Sejak tahun 2011, produksi cengkeh dalam negeri hanya mencapai 60 ribu hingga 70 ribu ton per tahun. Padahal kebutuhan cengkeh berada pada kisaran 90 ribu hingga 120 ribu ton dalam tiga tahun terakhir. “Tahun ini diperkirakan produksi cengkeh menyusut sebanyak 5 persen karena kekurangan lahan,” ujar Soetardjo. Menurutnya, itu akibat minimnya produksi menyebabkan harga cengkeh naik. Harga cengkeh per 2012 lalu mencapai Rp 120 ribu per kilogram. Tahun sebelumnya, harga cengkeh mencapai Rp 111 ribu per kilogram. Soetardjo mengatakan, dalam keadaan normal cengkeh dihargai Rp 60 ribu hingga Rp 80 ribu per kilogram. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan produktivitas melalui strategi intensifikasi dan rehabilitasi tanaman. Hal ini penting agar terjadi keseimbangan antara permintaan dan penawaran dalam negeri. APCI berencana membentuk badan usaha guna memotong mata rantai perdagangan cengkeh yang dinilai terlalu panjang, yang berimbas pada mahalnya harga di pasaran. “Saat anomali iklim menganggu pertanaman cengkeh, harga merangkak naik mencapai Rp 120.000 per kilogram,” ujarnya. Namun, katanya, biasanya petani cengkeh menikmati harga lebih rendah dibandingkan yang terbentuk di pasar. Rantainya dari petani cengkeh, ditampung pengepul kecil, pengepul besar, vendor terus masuk ke pabrik rokok. “Untuk menjaga harga stabil APCI sepakat pembentukan badan usaha, sehingga cengkeh hasil produksi petani bisa langsung dibeli oleh badan usaha tanpa melalui perantara,” tegasnya. APCI juga ingin mematok harga beli dari petani Rp 75 ribu per kilogram agar petani tetap menikmati harga tinggi dan pabrik rokok juga tidak membeli terlalu mahal cengkeh petani. Jika dari sisi produksi terjadi over suplai, biasanya harga cengkeh jatuh, bahkan pada tahun 2007 harga terendah berada di level Rp 30 ribu per kilogram. “Jadi, petani cengkeh berharap harga stabil dan tidak terjadi gejolak harga,” pungkas Soetardjo. AgroFarm l Tahun III l Edisi 38 l September 2013 beledug bantolo GeoEnergi l Tahun I l Edisi 06 l Desember 2010