7676
Foto: Bimo
Indonesia menempati urutan ke
tiga setelah negara Singapura
dan Madagaskar. Menurutnya,
dalam meningkatkan produktivitas
cengkeh masih menghadapi berbagai
permasalahan antara lain : banyak
tanaman sudah tua, rusak dan adanya
serangan hama penyakit. Di satu sisi,
adanya perubahan iklim ditambah
keterbatasan sarana dan prasarana
produksi. Lantas minimnya bibit
unggul dan lemahnya sumber daya
manusia maupun kelembagaan petani.
“Beberapa tahun terakhir terjadi
pengurangan produksi cengkeh
karena adanya kekeringan, penyakit
cacar daun cengkeh dan konversi areal
cengkeh untuk tambang maupun
komoditi lain,” ujar Gamal dalam
pembukaan Rapat Kerja Nasional
Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia
(APCI) di Kementerian Pertanian.
Perkembangan cengkeh
mengalami pasang surut dari
waktu ke waktu. Areal cengkeh
pernah mencapai luasan tertinggi
pada tahun 1987, yakni 742 ribu
hektar (ha), kemudian mengalami
penurunan sampai titik terendah
pada tahun 2000 dengan luas 415
ribu hektar. “Sekarang luas areal
cengkeh mencapai 470 ribu ha dengan
produksi 84,8 ribu ton,” paparnya.
Areal di Sulawesi Utara sebagai
penghasil utama cengkeh nasional,
memberikan kontribusi besar, kendati
areal seluas 75 ribu ha itu hanya 16
persen dari luas nasional. Kebutuhan
cengkeh khususnya untuk pabrik
rokok diperkirakan 110.000 sampai
120.000 ton per tahun. Ini peluang
untuk meningkatkan produktivitas
cengkeh. “Produktivitas cengkeh
hanya mencapai 260-360 kilogram/
ha selama tiga tahun terakhir dari
potensinya mencapai 600 kilogram/
ha,” tegasnya.
Untuk itu, pihaknya akan
melakukan revitalisasi lahan,
perbenihan, infrastruktur dan
prasarana, sumber daya manusia,
pembiayaan petani, kelembagaan
petani dan tekonologi untuk industri
hilir.
Sementara harga cengkeh terus
melambung hingga menyentuh Rp
120 ribu per kilogram dari normalnya
Rp 60 ribu-Rp 80 ribu per kilogram.
Padahal, industri rokokyang
menggunakan cengkeh sebagai bahan
baku selain tembakau, selama ini
mematok harga cengkeh maksimal Rp
70 ribu per kilogram.
Kenaikan harga cengkeh akan
mengancam produsen rokok kretek.
Apalagi jumlah produsen rokok kretek
di Indonesia terus merosot. “Pada
tahun 2009 jumlah pabrik rokok
kretek mencapai 2.500 perusahaan,
kini menyussut hanya 1.500
perusahaan,” tukas Gamal.
Gamal mengungkapkan,
pengusaha rokok skala kecil terancam
bangkrut karena tak bisa menaikkan
harga rokok dengan tiba-tiba. Ini
berbeda dengan perusahaan rokok
besar yang bermodal kuat dan bisa
mengatur harga jual produk lebih
murah.
Ketua Umum Asosiasi Petani
Cengkeh Indonesia (APCI) Soetardjo
mengatakan, produksi petani cengkeh
beberapa tahun ini stagnan. Sejak
tahun 2011, produksi cengkeh dalam
negeri hanya mencapai 60 ribu
hingga 70 ribu ton per tahun. Padahal
kebutuhan cengkeh berada pada
kisaran 90 ribu hingga 120 ribu ton
dalam tiga tahun terakhir. “Tahun
ini diperkirakan produksi cengkeh
menyusut sebanyak 5 persen karena
kekurangan lahan,” ujar Soetardjo.
Menurutnya, itu akibat minimnya
produksi menyebabkan harga cengkeh
naik. Harga cengkeh per 2012 lalu
mencapai Rp 120 ribu per kilogram.
Tahun sebelumnya, harga cengkeh
mencapai Rp 111 ribu per kilogram.
Soetardjo mengatakan,
dalam keadaan normal cengkeh
dihargai Rp 60 ribu hingga Rp 80
ribu per kilogram. Oleh karena
itu, diperlukan upaya untuk
meningkatkan produktivitas melalui
strategi intensifikasi dan rehabilitasi
tanaman. Hal ini penting agar terjadi
keseimbangan antara permintaan dan
penawaran dalam negeri.
APCI berencana membentuk
badan usaha guna memotong mata
rantai perdagangan cengkeh yang
dinilai terlalu panjang, yang berimbas
pada mahalnya harga di pasaran.
“Saat anomali iklim menganggu
pertanaman cengkeh, harga
merangkak naik mencapai Rp 120.000
per kilogram,” ujarnya.
Namun, katanya, biasanya
petani cengkeh menikmati harga
lebih rendah dibandingkan yang
terbentuk di pasar. Rantainya dari
petani cengkeh, ditampung pengepul
kecil, pengepul besar, vendor terus
masuk ke pabrik rokok. “Untuk
menjaga harga stabil APCI sepakat
pembentukan badan usaha, sehingga
cengkeh hasil produksi petani bisa
langsung dibeli oleh badan usaha
tanpa melalui perantara,” tegasnya.
APCI juga ingin mematok harga
beli dari petani Rp 75 ribu per
kilogram agar petani tetap menikmati
harga tinggi dan pabrik rokok juga
tidak membeli terlalu mahal cengkeh
petani.
Jika dari sisi produksi terjadi over
suplai, biasanya harga cengkeh jatuh,
bahkan pada tahun 2007 harga
terendah berada di level Rp 30 ribu
per kilogram. “Jadi, petani cengkeh
berharap harga stabil dan tidak terjadi
gejolak harga,” pungkas Soetardjo.
AgroFarm l Tahun III l Edisi 38 l September 2013
beledug bantolo
GeoEnergi l Tahun I l Edisi 06 l Desember 2010