cover story
Dr Ir Ade Wachjar MS :
White Kopi Hanya
Strategi Bisnis
Foto: Bimo
Komoditas kopi sebagai salah satu andalan sektor
pertanian Indonesia kini mulai memudar. Tergerus
oleh komoditas kelapa sawit dan kakao yang dinilai
petani lebih menguntungkan dari sisi ekonomi.
Akibatnya total luasan areal perkebunan kopi
menyusut, produktivitas menurun, yang berdampak
terhadap kontribusi hasil devisa nasional. Perlu
revitalisasi untuk dorong komoditas kopi menjadi
pendulang devisa yang handal.
P
emerhati Kopi, Dr Ir Ade
Wachjar.MS mengaku,
melemahnya pamor kopi
karena perhatian pemerintah
dan pengusaha, termasuk
petani yang mulai mengabaikan kopi
sebagai komoditas unggulan yang
mampu memberi kesejahteraan kepada
petani Indonesia.
“Sepertinya, pemerintah dan
pengusaha lebih fokus ke pengem
bangan kepala sawit. Akibatnya,
per ebunan kopi tidak terurus karena
k
banyak ditinggalkan petani,” ucap Ade
dalam pada Agrofarm di kantornya di
Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB).
Peraih master di bidang kopi dan
doktor saat meneliti coklat membuat
Ade cukup intens dengan mengamati
perkembangan kopi dan coklat nasional.
“Banyak petani kita mulai melalaikan
mengurus kebun kopinya karena
hasil yang diperoleh jauh dari yang
diharapkan,” ucapnya.
Kondisi itu diperparah karena
penanganan panen dan paska panen
yang tidak dilakukan secara baik. “Di
Toraja, kita bahkan sampai mengirim
orang untuk mengajarkan bagaimana
memanen yang baik, memangkas tana
man yang baik, karena pena ganan
n
ter adap tanaman kopi ber engaruh
h
p
terhadap produksi kopi yang dihasilkan,”
katanya.
Perawatan kebun kopi yang ti
dak memenuhi standar perawatan
perkebunan yang baik menyebabkan
produktivitas terus menurun. Peng
hasilan perkebunan kopi kini berada
pada kisaran 700-800 kilogram per
hektare dalam setahun. “Padahal, bila
dikelola dengan baik bisa menghasilkan
produksi antara 1,5 sampai 2 ton per
hektare dalam setahun,” ucapnya.
Kondisi ini semakin diperparah
dengan penurunan areal perkebunan
kopi dalam delapan tahun terakhir. Bila
pada 2005 total areal perkebunan kopi
mencapai 1,265 juta hektare, pada 2013
areal perkebunan kopi menyusut 30.000
hektare menjadi 1,235 juta hektare .
Ade mengingatkan, bahwa tanaman
kopi memang butuh penanganan
yang baik untuk diperoleh hasil yang
maksimal. Dia mencontohkan faktor
cuaca sangat berpengaruh terhadap
produksi kopi. Kopi butuh iklim kering
sepanjang penyerbukan.
“Memang bila dilihat dari luasan
areal, penurunannya tidak signifikan.
Tapi, trend itu tetap harus diwaspadai
karena mencerminkan turunnya
komoditas kopi nasional,” katanya.
Dengan berbagai permasalahan
yang dihadapi, Indonesia kini berada
di urutan keempat sebagai produsen
kopi terbesar di dunia di bawah Brasil,
Kolumbia dan Vietnam. Padahal,
sebelum 2005, Indonesia masih
menduduki peringkat tiga besar dunia
untuk total produksi kopi nasionalnya.
Pengembangan perkebunan kopi
terkendala karena pemerintah lebih
condong mengembangkan kopi arabica
dibanding robusta. Itu bisa dipahami
karena saat ini, 90 persen produksi kopi
AgroFarm l Tahun III l Edisi 38 l September 2013
nasional dikontribusikan oleh kopi jenis
robusta. Padahal, penanaman kopi
arabica harus dilakukan di ketinggian
di atas 700 meter. “Jadi mencari lahan
dengan kontur seperti itu memang tidak
gampang,” katanya.
Selain itu, pengembangan varietas
unggul dari kopi memang tidak secepat
pengembangan komoditas lain seperti
kelapa sawit dan kakao. “Ada beberapa
permasalahan kenapa kopi nasional
tidak berkembang dengan baik di hulu,”
katanya.
Padahal, dari sisi jenis, kopi Indonesia
punya kekhasan yang punya nilai jual
cukup tinggi. Setidaknya ada beberapa
jenis kopi spesial, seperti Java Coffee,
Toraja, Bali, Baliem, dan kopi Gayo.
“Kopi-kopi itu punya aroma khusus dan
hanya bisa ditanam di wilayah itu. Jadi
nilai jualnya sangat tinggi. Memang yang
termahal tetap Luwak Kopi,” katanya.
Namun, dia mengingatkan, bahwa
Luwak kopi menjadi terkenal karena
bii kopi yang dihasilkan melalui proses
j
fermentasi pencernaan musang.
Di sisi hilir, industri kopi memang
lebih bagus dibanding di hulunya.
“Industri kopi tumbuh subur dan terus
berkembang,” aku Ade.
Mengenai berkembangnya white
coffee, Ade mengaku tidak melihat
seba ai ancaman untuk pengembangan
g
komoditas kopi baik di hulu maupun
hilir. “White coffee itu kan rasa kopinya
tidak nyata dibandingkan dengan kopi
hitam. Itu bagian dari strategi bisnis
saja,” paparnya. iin achmad
23